SEJARAH ORGANISASI
1. Sejarah
Bencana bisa memiliki dampak yang luas pada sebuah negara, pemerintah, dan rakyatnya. Karena itu, tanggung jawab utama penanganan bencana harus berada di tangan negara. Sementara pihak di luar negara, seperti organisasi-organisasi non-pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan lembaga-lembaga internasional merupakan mitra kerja negara atau pemerintah yang berperan serta dalam mempercepat dan menyempurnakan proses penanggulangan bencana di Indonesia. Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan merasa terpanggil untuk ikut berperan serta aktif dalam upaya penanganan bencana.
Peran serta aktif dari Persyarikatan Muhammadiyah dalam “menolong kesengsaraan” perlu disusun dalam suatu sistem penanganan bencana. Sistem penanganan bencana tersebut haruslah sistem yang benar-benar lentur dan dapat meningkatkan peran serta majelis, lembaga, amal usaha, organisasi otonom (ortom), dan elemen penting dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Fungsi utama sistem penanganan bencana adalah untuk memastikan bahwa sumber daya dan kerja dari Majelis, Lembaga, Organisasi Otonom atau Amal Usaha terkoordinasi dengan baik untuk melakukan usaha terbaik penanggulangan bencana.
Dengan demikian, jika sistem Penanggulangan Bencana ini diikuti dengan ketat, maka:
· tidak akan ada kebingungan antara peran manajemen dan koordinasi yang dilakukan oleh Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah dan peran Majelis-Lembaga-ORTOM dan Amal Usaha;
· tidak akan ada kebingungan antara peran manajemen dan koordinasi yang dilakukan oleh Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah di tingkat pusat, wilayah dan daerah
· dapat dihindari konflik manajemen;
· tugas-tugas penanggulangan bencana dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien; dan
· terjadi optimalisasi dan efektifitas dalam keseluruhan tindakan.
2. Semangat Al-Ma’un
Surah Al-Ma’un merupakan basis ideologi perjuangan yang memberikan landasan keberpihakan kepada kaum lemah (dhu’afa’) dan kaum teraniaya (mustadl’afin). Semangat Al-Ma’un merupakan dasar pijakan dalam pengembangan awal gerakan “PKO-Penolong Kesengsaraan Oemoem” dengan tokoh Kyai Sudjak di awal pendirian Muhammadiyah tahun 1912. Semangat ini sudah saatnya diterjemahkan kembali sebagai basis dalam gerakan penanggulangan bencana. Penerjemahan tersebut disesuaikan dengan munculnya gagasan baru tentang pembentukan masyarakat sipil atau masyarakat madani atau masyarakat yang beradab. Masyarakat madani yang dimaksud dalam hal ini adalah masyarakat yang terbuka dan bermartabat. Prasyarat yang seharusnya ada dalam masyarakat madani adalah penempatan teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai basis gerakan.
Visi Muhammadiyah adalah Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam kilasan sejarah, Persyarikatan Muhammadiyah memiliki tujuan-tujuan yang disandarkan pada indikator kemanusiaan. Tujuan dari masing-masing periode, dapat dilihat sebagai berikut:
· 1912-1946: Memajukan dan menggembirakan hidup berdasar Islam.
· 1946-1985: Menegakkan dan menjunjung agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
· 1985-2000: Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, yang diridhai Allah SWT
· 2000-sekarang: Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Visi di periode awal yang berbunyi memajukan dan ‘menggembirakan hidup’ berdasar Islam memberikan spirit yang khas. Tujuan ini sangat jelas didasarkan pada pemikiran bahwa dalam Islam sudah tertanam (embodied) perasaan riang atau hidup dengan riang; dan Islam merupakan sebuah jalan untuk mencapai kemajuan (progress). Tujuan ini mencoba membangun sebuah gagasan bahwa kemajuan haruslah membawa kegembiraan, khususnya bagi anak-anak yang tidak terlindungi (yatim) dan kelompok miskin (inti surah Al-Ma’un). Hal ini sangat berbeda dengan situasi sosial modern yang menempatkan dalam setiap kemajuan memiliki anak berupa penderitaan dan keterasingan.
Dalam mengimplementasikan semangat Al-Ma’un ada banyak hambatan dan tantangan. Menurut Ketua PP Muhammadiyah 2005-2010, Dr. Sudibyo Markus,hambatan-hambatan yang terjadi dalam Muhammadiyah adalah (1) Hambatan kultural; tarik menarik antara political disengagement dan civic engagement. (2) Hambatan struktural; organisasi terlalu besar. (3) Hambatan paradigmatik, dalam pelaksanaan fungsi khalifah, rahmatan dan risalah. (4) Hambatan programatik, terjebak dalam kegiatan kelembagaan, kurang berfokus pada pendekatan ummah. Menjadi “pengrajin” amal usaha, melahirkan “pulau-pulau“ yang kurang tanggap terhadap lingkungannya.
Padahal ‘ruh’ gerakan Muhammadiyah sejak awal berdirinya menyiratkan inklusivitas total dan universal sesuai dengan semangat Islam sebagai rahmat bagi seluruh semesta. Ruh ini terartikulasi secara berbeda sesuai dengan perkembangan zaman, terutama penggunaan bahasa. Namun ‘maju dan gembira’ merupakan frasa yang seharusnya tidak pupus dalam cara kerja Muhammadiyah. Dalam konteks sekarang, maju dan gembira haruslah dimaknai dengan cara pandang baru, yakni:
- Menguatkan komitmen kepada kelompok yang tidak terlindungi (mustadl’afin) dan yang lemah (dlu’afa).
- Mobilisasi sumber daya yang ada di Muhammadiyah untuk keluar dari dominasi kekuatan pasar global.
- Membangun solidaritas kolektif dan membangun kohesivitas secara terstruktur.
- Mengembangkan modal sosial (social capital), sebagai kompensasi bagi hilangnya akses sumber daya alam dan meningkatkan kepercayaan ‘trust’ dalam manajemen sumberdaya manusia.
- Penyeimbang proses demokratisasi dan good governance.
Dua prioritas Muhammadiyah dalam membumikan konsep masyarakat Islam sebenar-benarnya adalah [1] Back to Basics – peningkatan kapasitas lokal/komunitas/akar rumput dan [2] Go International. Keduanya berkaitan dengan peristiwa di tingkat global dengan akar rumput (out there phenomenadengan in here phenomena). Perlu diingat bahwa globalisasi merupakan jalan kembali ke kampung halaman. Dalam konteks ini globalisasi justru memberikan kesempatan untuk menemukan kembali kesadaran ’lokal’ kita dan memungkinkan terjadinya hibridasi kebudayaan (akomodasi: menyerap, dan akulturasi: mencyerap dan membagi).
Di dunia Internasional Muhammadiyah dianggap sebagai pilar Islam Moderat dan tonggak demokrasi di Indonesia. Banyak yang ingin membantu dan bekerjasama, salah satunya organisasi-organisasi yang tergabung dalam Humanitarian Forum Indonesia (HFI). Muhammadiyah menjadi salah satu dari inisiator organisasi ini. Isu bencana dalam community based disaster reduction management (CBDRM) merupakan bagian dari strategi makro Muhammadiyah sebagai Islamic Society/Civil Society yang bertumpu pada konsep surat Al-Ma’un, yang mengandung proses (1). Karitatif, (2). Pemberdayaan, (3). Takaful (modal sosial), (4). Ketahanan sosial, (5). Masyarakat yang beradab (civil society).
Pada tahun 2007 Pimpinan Pusat Muhammadiyah membentuk Pusat Penanggulangan Bencana dengan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 58/KEP/I.0/2007 tentang penetapan Pengurus dengan ketua Dr.H.M. Natsir Nugroho, Sp.OG, M.Kes. Pembentukan ini berdasar rekomendasi Internal Pasal 1keputusan Muktamar Muhammadiyah 45 tahun 2005. Pada periode 2010 – 2015 Pimpinan Pusat Muhammadiyah merubah menjadi Lembaga Penanggulangan Bencana dengan kedudukan setingkat Majelis dengan Ketua H. Budi Setiawan, ST dan berkedudukan di Kota Yogyakarta.
Sumber :
vivitardyansah.blogspot.com/2011/04/sejarah-organisasi.html
http://google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar