Kamis, 05 April 2012

22.tulisan

Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Mental Anak dari Tinjauan Pembentukan Pola Neurologis Otak


Seminar online KHARISMA Women and Education bulan Oktober 2009 mengangkat tema “Pengaruh Lingkungan terhadap perkembangan Mental Anak dari Tinjauan Pembentukan Pola Neurologis Otak". Nara sumber seminar kali ini adalah Bapak H. Ir. Purwanto Yusdharmanto, seorang public speakertrainer dan mentality therapist. Beliau merupakan pendiri PT. REPS Indonesia, penggagas Deep-Mind Power Engineering Technique(http://deepmindpower.com/), yang telah berpengalaman melakukan pelatihan dan terapi untuk perusahaan, keluarga, dan siswa sekolah menengah. Secara garis besar, manusia, sejak usia kanak kanak hingga dewasa, selalu berada dalam keadaan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Menurut penelitian pakar neurologi otak, manusia akan senantiasa dibentuk oleh lingkungan atau faktor eksternal dari luar tubuhnya dalam setiap detik kehidupannya, selama ia masih dapat bernapas. Pengaruh lingkungan pada anak-anak sangat luar biasa karena pada masa kanak-kanak dikenal “the golden age" atau masa keemasan di mana penyerapan hal-hal yang membentuk pola di dalam otak anak berlangsung sangat cepat dan mudah. Di dalam otak anak terdapat milyaran sel syaraf, dan pada sel-sel syaraf tersebut akan terbentuk pola-pola mental dan karakter. Contohnya seorang anak yang memiliki pengalaman disuntik dengan sedikit dipaksa. Kejadian tersebut meninggalkan rasa sakit sehingga terekam dan meninggalkan pola asosiasi yang kuat pada anak, bahwa setiap orang yang berpakaian putih-putih identik dengan suntikan. Akibatnya dengan hanya melihat orang berpakaian putih-putih seperti dokter, suster atau orang lain yang mungkin tidak ada hubungannya dengan suntikan dia sudah merasa ketakutan dan histeris. Sayangnya, orang tua sering mengabaikan hal-hal yang terlihat sepele semacam ini. Contoh lain pengaruh lingkungan pada anak bisa dilihat pada cerita Tarzan. Tarzan begitu lihai berjalan, bercakap dan bertingkah laku seperti kera dan binatang-binatang hutan lainnya. Hal ini karena setiap waktu dalam sebuah kurun waktu tertentu ia senantiasa mendapatkan rangsangan-rangsangan dari lingkungan sekitarnya mengenai cara hidup di hutan. Ternyata saat ia dewasa dan bertemu manusia, baru ia sadari bahwa sebenarnya bukan seperti itu seharusnya ia berjalan, bercakap, dan bertingkah laku. Pada orang dewasa, perulangan kejadian juga bisa menyebabkan terbentuknya pola perilaku. Misalnya orang yang sebelumnya tidak pernah menggosip, ketika ia mulai menggosip hal ini akan membentuk pola menggosip di otaknya. Semakin sering ia mencoba menggosip, pola yang terbentuk akan semakin kuat dan hidup. Menurut dr. Taufik Bachtiar, pakar neurologi otak Indonesia, ketika kebiasaan sudah menjadi terlalu sering, maka pola perkembangan otak akan menjadi hidup seolah-olah dia perlu berkembang, menjadi besar dan mencari sambungan yang lebih besar lagi. Pada akhirnya otak akan selalu berusaha mencari makanan untuk pola yang terbentuk ini. Orang yang terbiasa menggosip akan menjadi pusing ketika lama tidak menggosip. Pusing yang ia rasakan merupakan sinyal yang dikirim otak untuk mencari makanan, dalam hal ini menggosip. Perulangan kejadian seperti ini dapat pula menjadi sumber terbentuknya trauma. Misalnya pada si anak yang takut disuntik, ketika setiap kali disuntik ia selalu dipaksa maka bisa jadi dia menjadi trauma dengan suntikan. Hal penting yang perlu diingat oleh orang tua adalah jangan menganggap sepele setiap kejadian yang terjadi pada anak. Karena banyak trauma yang terjadi pada orang dewasa ternyata disebabkan oleh kejadian saat ia masih kecil. Semua hal yang terekam oleh hati dan panca indera kita, apa yang kita ingat, lihat, dengar dan rasakan sebenarnya tidak pernah hilang dari otak kita. Saat kita mengalami trauma dan kemudian menjalani terapi untuk menghilangkannya, pada dasarnya yang dihilangkan adalah intensitas rasa takutnya. Namun ingatan kita akan hal yang pernah terjadi akan tetap tinggal di dalam mental dan jiwa kita. Ada kasus seorang ibu yang sering merasa kurang percaya diri. Rasa kurang percaya diri ini pada akhirnya sering menimbulkan masalah dalam pekerjaannya. Pak Purwanto, narasumber kita kali ini, kemudian berusaha menggali penyebab dari masalah ini. Singkat cerita, ditemukanlah sumbernya, sebuah kejadian di masa lalu ibu tersebut. Pada saat SD dan SMP beliau selalu berprestasi dan membanggakan kedua orang tuanya. Tiba saatnya masuk SMA, orang tuanya memaksa beliau untuk masuk sebuah SMA elite pilihan orang tuanya. Sang ibu yang mendapati dirinya berasal dari keluarga biasa-biasa saja dihadapkan pada kondisi teman-temannya yang berbeda, misalnya pergi ke sekolah selalu diantar mobil pribadi. Hal ini menyebabkan beliau merasa minder yang pada akhirnya menghambat prestasi beliau di SMA dan universitas. Selain dipengaruhi, mental anak juga bisa mempengaruhi lingkungannya (orang tua, suasana dan kondisi rumah). Kedua hal ini bisa dianalogikan seperti ayam dan telurnya, tidak jelas yang mana muncul lebih dulu dan saling mempengaruhi satu sama lain. Contohnya anak yang takut disuntik tadi. Trauma si anak bisa mempengaruhi sikap kedua orang tuanya. Mereka misalnya menjadi over protective terhadap si anak. Selanjutnya, sikap over protective ini pun akan balik mempengaruhi anak tersebut menjadi anak yang tidak mandiri. Yang paling baik dalam situasi seperti ini adalah orang tua mencoba melakukan penyelarasan dan membangun komunikasi yang baik dengan anak. Untuk mendapatkan perkembangan mental yang baik, kita perlu mengetahui beberapa hal penting dalam pembentukan mental. Pertama, kita perlu mengetahui faktor-faktor pembentuk pola keyakinan manusia, dari anak-anak hingga dewasa. 1. Lingkungan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lingkungan dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem mental manusia. 2. Pengetahuan, terutama pengetahuan yang diberikan saat golden age, masa dimana anak sangat cepat sekali meniru apa yang ia lihat, dengar dan rasakan. 3. Pengalaman-pengalaman yg dialami oleh anak-anak kita. Apa yang mereka alami saat anak-anak akan membekas sampai mereka dewasa. 4. Tantangan atau rangsangan yang diberikan kepada anak untuk memancing kemampuan dan rasa percaya dirinya. 5. Mindset and mentality programming. Ketika manusia mengalami trauma, grogi, phobia, gelisah, ragu-ragu dan berbagai kecemasan lainnya sebenarnya mereka sedang melihat bayangan mentalnya sendiri. Mereka seperti sedang melihat film horrornya sendiri. Bila hal ini terjadi berulang-ulang akan kembali membentuk mentalnya. Mindset dan mentality programming dilakukan untuk membangun bayangan mental yang baru. Hal penting lain menyangkut sistem keyakinan yang terbentuk adalah sistem indera manusia. Sistem indera manusia selalu bekerja menerima rangsangan. Apa pun yang kita lihat, dengar dan rasakan akan selalu direkam oleh otak kita. Ada 2 macam pola perekaman rangsangan oleh anak. 1. Anak merekam secara sadar, biasanya didasari oleh rasa ketertarikan. Misalnya ketika anak menonton televisi, ia menyukai film kartun tertentu, maka ia akan berusaha melihat, mendengar, merasakan film tersebut dan pada akhirnya menceritakan kembali atau menirukan gerakan-gerakan dari film yang ia tonton. 2. Anak merekam secara tidak sadar. Pada awalnya anak tidak berniat melihat, mendengar atau merasakan sesuatu. Akan tetapi karena hal tersebut terjadi berulang-ulang maka kejadian tersebut dapat terekam dalam mentalnya. Sebagai contoh, anak yang sedang bermain sendiri di kamar namun mendengar suara orang tuanya yang sedang bertengkar. Dalam kondisi seperti ini, anak terlihat tetap aktif bermain namun tanpa disadari merekam suasana pertengkaran kedua orang tuanya. Contoh lain adalah anak yang tertidur di depan televisi. Hal ini sangat berbahaya karena suara-suara dari televisi akan tetap dicerna dan ditangkap oleh telinga yang kemudian akan meneruskan sinyalnya ke otak kita. Pada kejadian ini, gelombang otak tidak ikut tidur namun terus bekerja merekam suara-suara yang ditangkap indera pendengaran dan memasukkan ke dalam mentalnya. Pola perekaman yang kedua kadang kala lebih berbahaya dari pola perekaman yang pertama karena sering tidak disadari oleh orang tua. Yang bisa dilakukan orang tua untuk mengantasi hal ini adalah dengan 1. Mempersiapkan lingkunganSalah satu contoh penyiapan lingkungan adalah dengan meyetel VCD pendidikan anak, dongeng atau murattal. Biarkan anak tidur dengan mendengarkan suara-suara atau kisah-kisah yang baik. Kisah-kisah tersebut biasanya akan terbawa mimpi oleh sang anak dan merupakan sarana terapi yang cukup baik. 2. Melakukan kalibrasi atau pengecekan dengan cara berdialog dan berceritaMisalnya kita ingin anak dapat bangun pagi dan shalat subuh berjamaah di masjid. Ajak anak berdialog sebentar (3-5 menit) sebelum tidur untuk menanamkan motivasi dan keyakinan diri si anak. Contohnya dengan mengatakan: "Fulan anak yang sholeh ya, anak laki-laki yang sholeh biasanya shalat subuh ke masjid bersama ayah. Jadi besok Fulan shalat subuh bersama ayah yah. Besok ketika dibangunkan langsung bersemangat yah." Selanjutnya, sistem otak manusia tidak hanya menerima rangsangan tetapi juga memancarkan rangsangan. Ambil contoh membangunkan anak untuk sekolah. Ketika orang tua memberikan rangsangan yang kurang baik kepada anak, maka anak juga cenderung memberi respon yang tidak baik. Misalnya ketika ayah membangunkan anak dengan terburu-buru, dengan sedikit rasa kesal, maka yang akan terjadi adalah anak yang susah dan marah ketika dibangunkan. Yang biasa dilakukan orang tua dalam kondisi seperti ini adalah dengan teknik "pemaksaan" terhadap anak. "Jika kamu tidak bangun nanti ayah tidak beri uang jajan, jika kamu tidak bangun kamu tidak usah sekolah". Kita harus ingat otak dan mental kita senantiasa memancarkan energi. Supaya anak hanya menerima energi yang positif dari kita, kita harus berusaha mematahkan atau menyelaraskan energi negatif yang sudah terlanjur keluar. Misalnya dalam hal anak terlanjur kesal dibangunkan. Sejenak tarik napas dalam-dalam dengan tujuan mematahkan pola energi negatif tadi. Kemudian ajak anak berdialog atau melakukan aktivitas lain yang menyenangkan yang tidak ada hubungannya dengan trauma yang ia rasakan. Dalam hal ini, jangan bicarakan tentang mandi, atau tentang sekolah. Ajak anak tertawa dan bercanda misalnya dengan menggelitiki ia atau melakukan perang bantal. Selanjutnya, saat anak sudah merasa senang, langsung angkat ke kamar mandi dan katakan "yuk sekarang ke kamar mandi" tanpa harus ditanya lagi "mau mandi tidak?" atau "mau sekolah tidak?". Teknik seperti ini disebut teknik pematahan pola. Selain itu, kita harus menyiapkan diri melakukan penyelarasan terhadap dunia anak-anak. Sesuai fitrahnya, manusia merasa senang dekat dengan siapa saja yang mirip dengan dirinya, baik itu anak-anak, remaja atau pun dewasa. Sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksa anak-anak masuk ke dunia orang dewasa. Sebaliknya, kita harus berusaha masuk ke dalam dunia anak-anak, ke dalam bahasa, gaya, perasaan, perilaku. Ketika kita dapat masuk ke dalam dunia mereka, insya Allah anak-anak akan merasa nyaman dengan kita. Dan ketika mereka sudah merasa nyaman dengan kita, insya Allah semua motivasi dan masukan apa pun yang ingin kita berikan kepada anak-anak akan dapat diterima dengan baik.


sumber :  H. Ir. Purwanto Yusdharmanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar